05Aug, 2015

“People Talk Back or Just Talk?” : Media tradisional Vs. media sosial

mediahd

Oleh : Wimpi Handoko

Pernahkan kita mengukur perbedaan strategis antara media tradisional (koran, majalah, radio, TV dan sejenisnya) dengan media sosial (Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan sejenisnya)?

Mungkin sebagian besar dari kita sedikat banyak sudah kenal akan perbedaan keduanya. Bagi mereka yang mungkin lupa, kita coba ulangi:

 

Media Tradisional Media Sosial
Komunikasi satu arahModel tertutup (karena satu arah)Media promosi masalMembicarakan tentang ‘mereka’

Konten editor

Lebih terkendali

Bahasa resmi

Kreatifitas institusional

Terjadwal

Keterlibatan pasif

Pengaruh “Top-down”

Narasumber resmi

Skala nasional/wilayah

Diukur dari segi cakupan dan frekwensi

Bebayar (melalui iklan)

Komunikasi dua arahModel terbuka (karena dua arah)Media promosi antar peroranganMembicarakan tentang ‘kita’

Konten orisinil

Lebih bebas

Bahasa sehari-hari

Kreatifitas budaya

“Real-time”

Keterlibatan aktif

Pengaruh “Bottom-up”

Narasumber perorangan

Skala komunitas

Diukur dari segi keterlibatan

Gratis (selain biaya internet)

 

Setelah kita ingat kembali perbedaan keduanya, mungkin kita coba untuk mengukur perbedaan strategis dari segi pengaruh serta dampak yang ditimbulkan antara kedua jenis media ini.

Masih ingat “Arab Spring”? Saat pergolakan masyarakat untuk demokrasi terjadi beruntun di tahun 2010 bermula dari Tunisia merambat ke Mesir, Libia, Bahrain dan Suriah? Kita ingat cerita bagaimana media sosial Facebook dan Twitter memulai debutnya di dunia saat itu menjadi medium yang berpengaruh sebagai komunikasi utama untuk menggerakkan para demonstran dalam memberi informasi dan instruksi secera kolektif hingga akhirnya otoritas masing-masing negara menyadarinya dan juga berbalik menggunakan media sosial untuk menangkap para aktifisnya.

Bagi mereka yang menunaikan ibadah puasa di akhir bulan puasa, sudah pasti akan menantikan pengumuman kapan berakhirnya puasa untuk menyambut 1 Syawal oleh pemerintah melalui TV dan radio. Tidak mungkin mereka menunggu pengumuman dari orang yang mereka tak kenal dari Facebook, Twitter atau sejenisnya.

Saat musibah jatuhnya Air Asia QZ8501 di Laut Jawa akhir 2014 dan pesawat TNI-AU Hercules di Medan 30 Juni 2015, semua orang mendengarnya dari berita on-line, TV, radio dan surat kabar dan diumumkan secara hati-hati dengan narasumber yang jelas dan bertanggungjawab serta konten yang tentunya sudah melalui editor yang teliti. Masyarakat patuh atas himbauan untuk tidak mepercayai berita dari sumber yang tidak jelas.

Sekitar bulan Desember 2009, seorang ibu bernama Prita Mulyasari dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit swasta dan oleh pengadilan dijatuhi hukuman denda sebesar Rp. 240 juta. Masyarakat yang iba dan tidak sudi melihat ketidak adilan yang terjadi melakukan upaya melalui media sosial dengan gerakan “Coin Untuk Prita” guna membantu mengumpulkan uang denda tersebut. Gerakan yang berniat baik ini mengalami komplikasi dalam perjalananya dari segi mekanisme, proses, kriteria dan terkumpul uang yang jauh masih kurang dari yang dibutuhkan. Adalah pihak pengacara yang melakukan aksi pro-bono aktif di lapangan yang akhirnya melepaskan Ibu Prita dari jeratan hukum ini.

Dari contoh kejadian tersebut dan melihat perbedaan nyata antara media tradisional dan media sosial, kita bisa pilah perbedaan strategis manfaat antara kedua jenis media ini dalam kehidupan kita. Adalah kepentingan kita sebagai individu apalagi bagi mereka yang bergerak dalam profesi bidang komunikasi untuk menyikapi penggunaan dan manfaat dari kedua media tersebut secara arif.

Leave a Reply

%d bloggers like this: