21Nov, 2011

Indira Abidin, Semua Harus dengan Nada Optimistis

indira_abidin_Investor_DailySikap optimistis turut menentukan keberhasilan seseorang atau perusahaan dalam mengatasi setiap persoalan. Dengan optimisme, persoalan seberat apa pun akan terasa ringan. Dengan optimisme rintangan sesukar apa pun bakal mudah disingkirkan. Setidaknya, Indira Abidin telah menikmati ‘keajaiban’ prinsip yang dipegang teguhnya itu.

Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga. Mungkin itu pribahasa yang paling tepat bagi Indira Abidin, managing director PT Fortune PR, anak usaha PT Fortune Indonesia Tbk. Sempat bekerja di luar bidang periklanan dan public relations (PR), perempuan kelahiran Bandung, 29 Oktober 1969 ini akhirnya mengikuti jejak kedua orangtuanya, Indra Abidin dan Miranty Abidin, menekuni bidang PR dan periklanan. Bahkan, Indira bekerja di perusahaan yang dirintis dan dibesarkan orangtuanya.

Meski tak memiliki latar belakang pendidikan khusus di bidang komunikasi, Indira cepat beradaptasi. Kini, nama Fortune PR tak bisa lepas dari namanya. Ibu satu anak ini bahkan sudah menjadi semacam trade mark perusahaan tersebut.

Mengelola perusahaan PR jelas bukan pekerjaan mudah. Apalagi, selain ditugasi membesarkan Fortune PR, istri Siraj El Munir Bustami ini diserahi tanggung jawab sebagai corporate secretary di Fortune Indonesia, perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham FORU.

“Saya belajar semuanya secara otodidak. Di rumah, orangtua saya juga omongannya soal marketing dan PR. Jadi tidak ada bedanya antara kantor dan rumah,” kata Indira Abidin kepada wartawan Investor Daily Harso Kurniawan dan Nurfiyasari serta pewarta foto Tino Oktaviano di Jakarta, baru-baru ini.

Tentu saja Indira menikmati betul bekerja di bidang PR dan periklanan. “Bidang ini dinamis banget. Apalagi sebagai konsultan, kliennya berasal dari banyak industri. Sekarang sedang mikirin klien telekomunikasi, nanti malam sudah harus berpikir soal oil and gas. Saya menyenangi dunia ini,” tutur penyandang master pendidikan dari Boston University, Boston, Amerika Serikat (AS), itu.

Tapi bukan berarti jalan yang dihadapi Indira sepenuhnya lempang, mulus, dan bebas hambatan. “Semua sulit, tidak ada yang gampang. Tapi saya tidak menjadikan itu sebagai masalah. Prinsip kami di Fortune adalah can do, harus bisa. Semua harus dilakukan dengan nada optimistis,” ujar ibu dari Hana Nabila (4 tahun) tersebut.

Apa saja kiat Indira Abidin membesarkan Fortune PR dan Fortune Indonesia? Apa pendapatnya tentang kerja sama tim dan perusahaan keluarga? Berikut petikan lengkap wawancara tersebut.

Mengapa Anda terjun ke bidang PR?

Latar belakang pendidikan saya sebetulnya ekonomi. Saya belajar PR secara otodidak. Di rumah, orangtua saya juga omongannya soal marketing dan PR. Jadi, tidak ada bedanya antara kantor dan rumah. Dari awal saya sudah sering ke Fortune Indonesia karena bapak kerja di sana, setiap hari meilhat kerjaannya, meetingnya. Saya sudah terbiasa. Tapi karena saya belajar ekonomi, akhirnya saya bekerja di bank, kemudian bekerja di biro riset. Di bank tidak sampai enam bulan, kemudian di bidang research satu tahun. Selalu boring dan ujung-ujungnya negatif. Saat itu, saya tidak menemukan jiwa, makanya boring sekali. Saya akhirnya melamar ke Fortune dan diterima. Saya masuk Fortune pada 1996. Sekarang saya menikmatinya. Ternyata jiwa saya ada di sini.

Anda sempat kesulitan beradaptasi?

Tidak sama sekali. Mungkin karena lahir di keluarga yang terjun di dunia ini. Saya dulu kuliah mengambil jurusan ekonomi pembangunan. Di situ ada manajemen, finance, dan marketing. Jadi, sebenarnya tidak berbeda jauh dengan yang saya jalani sekarang. Setelah masuk Fortune pada 1996, pada 1997 saya ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah. Saya ambil bidang pendidikan. Di sana ada jurusan international development program dan ada hubungannya dengan yang saya kerjakan sekarang. Saya mendalami international education development program. Ini bukan mengajar di kelas, tapi menggunakan media sebagai pendidikan. Komunikasi kan pada dasarnya pendidikan massa, memberikan edukasi kepada masyarakat. Marketing juga mengedukasi pasar. Di situ saya belajar development project. Saya tertarik karena kebetulan sebelumnya ikut kampanye ‘Aku Anak Sekolah’ yang diadakan Fortune.

Apa yang menarik dari dunia PR?

Dinamis banget. Apalagi sebagai konsultan, kliennya berasal dari banyak industri. Sekarang saya sedang mikirin klien telekomunikasi, nanti malam sudah harus berpikir soal oil and gas. Besok sudah berubah lagi. Saya menyenangi dunia ini, meskipun sekarang sudah mulai shift.

Anda tidak kesulitan bekerja di perusahaan keluarga?

Semua sulit, tidak ada yang gampang. Tapi saya tidak menjadikan itu sebagai masalah. Prinsip kami di Fortune adalah can do, harus bisa. Semua harus dengan nada optimistis. Dengan optimistis, semua bisa diselesaikan. Masalah berat terasa ringan. Para pegawai Fortune harus bisa seperti itu. Mereka memang dipilih sejak awal karena punya prinsip can do. Mereka punya semangat dan optimisme.

Bagaimana Anda berkomunikasi dengan bawahan?

Setiap team leader sering keluar kantor untuk bertemu klien, tetapi setiap Jumat mereka tidak boleh keluar kantor, kami semua meeting di dalam. Sekitar 20 orang datang ke meeting tersebut, kemudian mereka akan mengadakan meeting dengan rekan-rekan satu timnya. Dengan cara ini, semua informasi dapat disampaikan. Selain itu, kami bisa mendengar pandangan mereka yang di bawah. Semua harus diperhatikan dan dapat atensi yang sama. Kami tidak mengenal istilah atasan tidak pernah salah. Saya mengaku salah kalau memang salah. Learning-nya bukan siapa yang salah dan benar, tapi apa yang bisa kita bikin berbeda dari masalah tersebut. Banyak sekali pengalaman yang saya alami. Misalnya tahun lalu ada penurunan bisnis. Revenue Fortune PR paling kecil dibanding grup bisnis Fortune Indonesia. Tapi, kemudian ada orang-orang baru, mereka sangat hebat. Dengan adanya dua tambahan tenaga baru, kami bertiga berembuk. Persepektif masing-masing disatukan dan menjadikan ide yang kaya. Alhamdulillah, tahun ini kami meningkat. Untuk memupuk kreativitas, biasanya kami brainstorming. Selain itu, rajin baca case study di Worldcom.

Anda menempatkan posisi Fortune PR di mana ?

Fortune Indonesia yang merupakan afiliasi dari Fortune Australia. Kalau mereka ada klien ingin masuk ke Indonesi, Fortune Indonesia yang menangani. Pada 1973, Fortune Australia bangkrut. Pendiri Fortune Indonesia, Moechtar Lubis, pun ingin menjual sahamnya. Indra Abidin, yang saat itu menjabat sebagai managing director, membeli semua saham. Sejak itu, Indra Abidin yang pimpin Fortune Indonesia dalam kondisi banyak utang. Dari perusahaan bangkrut, Fortune Indonesia hingga akhirnya menjadi perusahaan terbuka. Awalnya Fortune PR hanya 20 orang, sekarang sudah 80 orang. Kami punya sekitar 50 klien. Yang kami utamakan adalah client satisfaction dan bagaimana kami tumbuh. Saya tidak bisa lagi langsung urus klien, nanti siapa yang mengatur 80 orang karyawan Fortune PR. Tim yang di bawah mengurus klien dan bisnis. Sekarang ‘pelajaran’ saya tidak lagi soal PR, melainkan membangun dunia inovasi, leadership, dan knowledge management. Saya juga mesti intens bergaul dengan wartawan, selain berhubungan dengan Worldcom, di mana berbagai perusahaan independen di berbagai negara bermitra. Kenapa? Karena kami kan harus bersaing dengan perusahaan multinasional yang memiliki jaringan luas. Bagaimana bisa kita bersaing dengan mereka yang capital- nya besar? Makanya kami bikin Worldcom. Saat ini ada ada 109 mitra perusahaan PR di 91 negara dari enam benua. Jadi, kami seperti perusahaan yang sangat besar. Ilustrasinya, Fortune PR belum bisa membangun jaringan di 91 negara karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Nah, sebagai bagian dari Worldcom, kami langsung punya cabang di negara-negara tersebut. Ini akan memudahkan kami, terutama saat klien kami punya event di negaranegara itu.

Bedanya Fortune PR dengan yang lain?

Komunikasi adalah konten lokal. Siapa yang tahu tentang masyarakat Indonesia, ya orang Indonesia. Orang asing tidak paham kultur Indonesia. Terkadang pers multinasional punya pakem internasional yang diadaptasi langsung, padahal belum tentu nyambung dengan kultur di sini. Itu terkadang yang dikomplain oleh klien. Pengalaman, ilmu, dan expertise perusahaan lokal berbeda dengan perusahaan multinasional. Persaingan perusahaan PR lokal dan asing memang sudah head to head. Pengalaman kami yang sudah 40 tahun merupakan pelajaran yang tidak bisa dilupakan. Terkadang kami belajar memecahkan masalah yang sekarang dengan melihat keadaan zaman dulu. Pak Indra Abidin yang sejak 1970-an saja masih berikan insight. Saya juga bertanya kepada managing director sebelumnya tentang apa yang dikerjakan untuk menyelesaikan masalah.

Anda masuk Fortune menjelang krisis moneter. Berarti Anda tahu persis kondisi industri PR saat krisis?

Pada masa itu banyak perusahaan periklanan jatuh. Tapi Fortune maju karena mendapat proyek ‘Aku Anak Sekolah’ dari Bank Dunia dan Kementerian Pendidikan Nasional. Saat itu saya menjadi lead information center. Waktu itu, saya sering mendengar ibu-ibu menangis karena tidak bisa menyekolahkan anaknya. Saat itulah saya berkata dalam hati bahwa saya harus mendedikasikan diri dalam dunia komunikasi massa dan pendidikan.

Arah tren PR kira-kira ke mana?

Sekarang trennya social media. Sekarang dunianya online PR, bagaimana kita bisa membangun reputasi awareness dukungan lewat social media. Tren ini sudah muncul sejak 2008, sebelumnya lebih banyak di mass media. Social media sebenarnya pelengkap apa yang sudah ada sebelumnya, tapi sekarang peranannya sangat penting. Respons klien terhadap perubahan tersebut?Masih banyak yang belum paham. Mereka tidak mengerti bagaimana memasukkan perusahaannya ke dunia social media. Oleh karena itu, dibutuhkan konsultan seperti kami yang sudah mengerti dunia tersebut. Kami menjelaskan tentang penyampaian pesan dan reputasi lewat social media. Perusahaan pun pelan-pelan mengikuti saran kami, tapi tidak sedikit juga yang berpikiran kalau konsumen perusahaan mereka aktif di dunia social media. Permasalahan sekarang adalah banyak perusahaan yang tidak mengerti bagaimana memasarkan perusahaannya sendiri.

Apa obsesi Anda?

Misi kami adalah to improve quality of life and bring value through impactful communications. Jadi, semua yang kami kerjakan harus mampu meningkatkan kualitas hidup. Misalnya kami pegang event Ausaid di 25 kota di Tanah Air, kemudian ada BTN mengenai cara menabung di 35 kota di Jawa Tengah, untuk tahun ini saja. Untuk setiap event di daerah, kami berdayakan orang daerah dan transfer energi. Dari kegiatan ini, tim kami juga tambah pintar.

Anda sudah merasa puas dengan apa yang didapat?

Belum, karena masih banyak yang bisa ditingkatkan dari Fortune PR. Dalam jangka menengah, Fortune berencana melahirkan pemimpin-pemimpin baru untuk menjalankan anak usaha. Saat ini ada satu anak usaha Fortune PR, yang manajemennya terpisah dari Fortune. Perusahaannya sama PR, tapi keahliannya hospitality, sekarang sedang bantu gubernur Sumsel untuk penyelenggaraan SEA Games.

Filosofi hidup Anda?

Saya selalu ingin memberdayakan. Saya tidak mau bekerja sendiri. Semua orang harus ikut ambil bagian. Mereka pun harus dipercaya, tetapi tetap diawasi. Oleh karena itu, mereka pelan-pelan belajar dan harus bisa lebih dari saya. Kita kan tidak tahu umur kita sampai kapan. Kalau tiba-tiba kita ‘tidak ada’ dan belum ada kaderisasi, bahaya sekali. Maka saya mulai empowerment, mulai dari bawah sekali. Sekarang, dengan struktur yang ada di Fortune, setiap team leader bisa menjadi pimpinan perusahaan. Dan, at any time mereka bisa dilepas dan menjadi chief executive officer (CEO) masing-masing. ***

Sumber: Investor Daily (14 November 2011)

Leave a Reply

%d bloggers like this: