01Aug, 2011

Indira Abidin, Si Penggerak Dunia Humas

indiraIa adalah salah satu tokoh perempuan sukses di bidang hubungan masyarakat. Sepak terjangnya turut membantu perusahaan tempatnya bekerja menjadi konsutan humas ternama di tanah air.

“Witing tresno jalaran suko kulino tresno (cinta ada kerena terbiasa). Agaknya pepatah Jawa ini cocok menggambarkan Indira Abidin (42) dengan dunia humas.

Sejak kecil Indira sudah akrab dengan hal-hal yang berbau komunikasi atau humas. Maklum, orangtuanya pasangan Indra dan Miranty Abidin adalah dua sosok yang mengembangkan kiprah Fortune Indonesia Tbk, perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi dan periklanan.

“Hampir setiap harinya saya ke kantor. Kadang-kadang hanya sekedar mengantarkan atau menjemput orang tua saya,” kenang Indira.

Meskipun demikian, Indira tidak langsung terjun di bidang ini ketika bekerja. Ia malah memilih menekuni bidang lain, Ia bahkan sempat tinggal di luar negeri.

Namun sama seperti ungkapan “jodoh tidak lari kemana”, akhirnya Indira kembali juga ke Fortune dan ikut membesarkan perusahaan yang telah dirintis kedua orang tuanya.

BINGUNG TENTUKAN PILIHAN

Indira adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia memiliki dua orang adik laki-laki yang bernama Firzi (38) dan Iqbal (34). Karena sejak kecil sudah terbiasa menghabiskan di kantor milik orang tuanya, ketika beranjak besar,Indira diminta ibunda tercinta untuk menjadi pendamping dalam pelatihan yang diadakan Fortune.

Karena bidang komunikasi sudah mendarah daging dalam tubuhnya, saat di bangku kuliah, Indira pun aktif berkecimpung di dunia kehumasan. Ia menjabat sebagai humas AISEC cabang Universitas Indonesia. AISEC adalah salah satu organisasi mahasiswa dunia di bidang kepemimpinan.

Beberapa kali ia juga mengajar topik komunikasi, padahal sebenarnya ia mahasiswi jurusan ekonomi, lho.” Apa yang diajarkan ibu, saya ajarkan lagi kepada mahasiswa lain,” ujarnya.

Meskipun tidak menimba ilmu komunikasi secara resmi, Indira mapu menguasi materi-materi itu berkat ibu dan obrolan mereka setiap hari di rumah, ia juga sering mengamati diskusi kedua orang tuanya. Lama kelamaan, wawasan dan ketrampilannya semakin terasah.

Ketika lulus kuliah, Indira bekerja di institusi perbankan. Walaupun memiliki perusahaan sendiri, orangtuanya tidak memaksanya untuk bekerja di Fortune Indonesia.

Namun selama bekerja di bank, hati kecil Indira merasa ada yang tidak cocok. Ia merasa potensinya tidak bisa dimaksimalkan di sana dan ia menghadapi banyak konflik.

“Akhirnya, saya berpikir, ‘Kenapa tidak coba saja dulu di sini (Fortune Indonesia -Red) ? Toh saya baru lulus kuliah, jadi masih bisa coba-coba kerja di sana sini. Eh siapa sangka, saya malah langsung cocok di Fortune,” kata perempuan ramah dan murah senyum ini.

Indira pun mulai bekerja di Fortune Indonesia pada 1996. Ia mengawali kariernya sebagai staf bagian New Business Development. Ia bertanggung jawab menangani klien baru, membuat proposal dan membantu tim humas.

Setelah setahun bekerja di Fortune Indonesia Indira pindah ke Amerika Serikat. Ia melanjutkan kuliahnya di bidang pendidikan. Indira memutuskan mendalami bidang ini karena pengalamannya sewaktu bekerja di Indonesia.

“Waktu itu, tahun 1996 – 1997, Indonesia sedang mengalami krisis. Depdiknas tidak ingin jumlah siswa mengalami penurunan tajam karena para orangtua tidak mampu membiayai pendidikan mereka. Jadi kami melakukan kampanye mencegah murid-murid berhenti sekolah,” ia menjelaskan.

Kampanye bertajuk “Aku Anak Sekolah” tersebut dilaksanakan Fortune Indonesia dan dibiayai Bank Dunia. Yang menjadi bintang kampanyenya dalah Rano Karno.

Indira sendiri menjamin hotline center atau layanan telepon. Setiap hari ia bertugas mendengarkan keluh kesah para orang tua yang tidak sanggup atau mengalami kesulitan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Kampanye tersebut sungguh meninggalkan kesan mendalam bagi Indira.

“Setiap hari saya susah hati mendengarkan orang menangis. Cerita mereka macam-macam. Ada ibu yang bercerita bahwa akibat krisis, suaminya tidak pernah pulang lagi dan ia tidak bisa membayar uang sekolah sang anak. Tugas kami menentramkan hati mereka,” ujarnya.

Itulah sebabnya Indira memutuskan mendalami bidang pendidikan. Ia lantas berkuliah di School of Education, Universitas Boston. Setelah kuliahnya selesai, ia sempat bekerja di bagian riset di Boston Medical Center, rumah sakit milik Universitas Boston.

Ketika akan mengalami kenaikan jabatan menjadi manajer proyek, tahu-tahu Indira dipanggil kembali ke Indonesia. “Pak Mulyadi, salah satu direktur di sini, mengatakan bahwa Fortune akan go public dan mereka membutuhkan saya secepatnya sebagai sekertaris korporat,” kata Indira.

Saat itu, ia mengalami pergulatan batin karena bingung menentukan pilihan. Di satu sisi, kariernya sedang menanjak di Amerika. Di sisi lain, Fortune Indoneisa membutuhkannya.

“Saya sampai salat Istikharah. Di Amerika, kan, saya sudah mau naik jabatan, dapat gaji lebih besar, sudah menyewa apartemen, sudah punya banyak teman, sudah happy, sudah enjoy. Kenapa saya harus pulang?” kenangnya.

Tetapi setelah salat minta petunjuk Indira menyadari bahwa ia memang harus pulang. Hatinya menuntunnya untuk kembali. Indira pun pulang ke Indonesia dengan hati tenang. Tidak ada penyesalan yang ia rasakan.

DITUNTUT BERPRESTASI LEBIH

Sekembalinya ke tanah air pada 2001, Indira langsung bertugas sebagai sekertaris korporat dan membantu proses go public Fortune Indonesia. Ia juga berperan sebagai “jembatan” antara perusahaan dan masyarakat.

Jabatan itu emban hingga kini, tetapi sejak 2004, ia juga menempati posisi sebagai Direktur Pelaksana Fortune PR, anak perusahaan Fortune Indonesia Tbk yang bergerak di bidang humas.

Bagi Indira, bekerja dengan orang tuanya di Fortune Indonesia Tbk terasa nyaman karena ada kepercayaan yang mereka berikan kepadanya. Ia yakin, keputusan yang mereka buat adalah yang terbaik untuk semua orang di sana.

Pernahkah ia merasa berada di bawah bayang-bayang nama besar kedua orang tuanya?” Tentu saja. Tetapi hal tersebut malah memicu saya untuk berprestasi dan berkiprah lebih baik. Apa pun yang orang tua saya lakukan saya jadikan patokan,” tuturnya.

Ia berusaha untuk belajar banyak hal, termasuk di jejaring sosial Twitter yang ia anggap sebagai tempat belajar. Setiap hari ada hal baru yang dipelajari.

“Kalau hanya menikmati apa yang ada, saya akan selalu berada di bawah bayang-bayang orang tua. Bisa-bisa saya dikatakan menikmati semua ini karena punya keistimewaan. Tapi saya bisa, kok, berprestasi dan membawa Fortune PR ke arah yang lebih baik,” ujar Indira.

Indira mengatakan, karena merasa Fortune PR sebagai rumahnya, ia selalu ingin memberikan yang lebih baik lagi dan membuat Fortune PR semakin berkembang. “Kalau bosan di bidang industri ini, saya bisa membawa perusahaan ini masuk industry lain,” tuturnya.

Bidang humas, menurutnya, sudah berkembang dengan sangat pesat, apalagi dengan adanya media sosial. Semakin banyak kesempatan yang terbuka untuk kita. Dunia humas Indonesia harus bisa mengikuti perkembangan tersebut dan tidak sekedar menjadi penonton.

“Kita harus jadi pemain aktifnya juga. Orang yang sukses di dunia humas sekarang adalah orang yang memang bisa mengikuti perkembangan dan bahkan bisa menciptakan perubahan dengan perkembangan – perkembangan itu,” tutur Indira.

Di timnya, Indira memimpin sekitar 70 karyawan. Uniknya, disana mereka semua tidak disebut karyawan, melainkan warga. Ini adalah konsep yang dikembangkan sang ayah.

“Alasannya karena kami semua adalah sebuah keluarga besar dan merupakan satu kesatuan. Kami bagaikan berhubungan dengan ayah, ibu , kakek, paman, dan sebagainya,” kata Indira.

Untuk mengasah keterampilan timnya, Indira dan anggota-anggota lain memiliki apa yang mereka sebut “rapat mingguan”. Dalam rapat tersebut, mereka membahas banyak hal.

Di samping itu, hampir setiap hari ada yang namanya “knowledge center”, yaitu forum untuk saling berbagi artikel berita melalui mailing list. Otomatis wawasan mereka berkembang.

Jumlah klien yang ditanganinya sangat banyak dan mereka bergerak di berbagai bidang. Fortune PR sendiri memiliki beberapa bidang keahlian, yaitu komunikasi korporat, healthcare and consumer, branding consultant, dan integrated marketing communication.

Untuk membedakan dari konsultan humas lainnya, Indira menekankan, perusahaanya sangat kuat sebagai branding consultant (pencitraan). Menurut Indira, belum ada konsultan humas yang juga memiliki layanan pencitraan ini. Ia melihat bahwa para kliennya tidak membutuhkan layanan humas saja, tetapi juga layanan pencitraan.

Indira merasa sangat nyaman dengan bidang yang dijalani sekarang. Disinilah minat dan “rumah”nya berada. Wajar jika ia menekankan, minat yang kuat sangatlah diperlukan dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya minat, kita bisa bekerja dengan nyaman tanpa merasa seperti sedang bekerja

“Apa yang saya lakukan sekarang memang hobi saya. Saya senang ngetweet, senang menulis, senang berkomunikasi dengan orang, dan lain-lain. Saya tidak merasa ada beban bekerja di sini. Enjoy saja,” ujarnya.

Tentu saja Indira pun sempat mengalami masa sulit dalam bekerja, sehingga harus melakukan pengetatan anggaran. Ia bersyukur seluruh timnya bisa mengerti, dan setuju untuk berjuang bersamanya di masa susah itu.

“Sebagai pemimpin, kita harus menunjukkan kepada karyawan bahwa kita berjuang untuk mereka. Apapun yang kita lakukan, ini semua untuk mereka. Mari kita bersama-sama bergandengan tangan dalam kondisi senang maupun susah,” ia menjelaskan.

TERBIASA MANDIRI

Di mata Indira, kedua orang tuanya sangatlah demokratis. “Banyak orang mengatakan bahwa kami bertiga (Indira dan kedua adiknya – red) over pede alias kelebihan rasa pecaya diri,” ujarnya sambil tertawa.

Maklum saja, sejak kecil mereka sudah dipacu untuk mengeksplorasi potensi masing-masing. Mereka jadi senang mencoba hal-hal baru.

Ketika duduk di kelas 6 SD, Indira dikirim orang tuanya ke Inggris seorang diri untuk kursus bahasa Inggris selama tiga bulan. “Saya tidak takut. Orang tua saya memang senagaja melakukan itu supaya saya bisa mandiri,” ungkapnya.

Kemandirian itu juga yang ia ajarkan kepada Hana Nabila, putri semata wayangnya yang berusia empat tahun. Belum lama ini sewaktu libur sekolah, Indira mengirim Hana seorang diri ke sebuah pondok pesantren di Sukabumi, Jawa Barat, untuk belajar agama selama seminggu.

Sesudah itu , Hana tinggal di rumah sepupunya di luar kota tanpa sang ibu. Indira juga berencana mengirim Hana ke Inggris, sama seperti yang dilakukan orang tuanya terhadap dirinya.

Kebetulan, menurut Indira, Hana sangat senang bersosialisasi. Ia bisa sangat bosan jika diam saja di rumah. Jadi ia memang terbiasa beraktivitas di luar.

Di waktu luang Indira sangat suka berjalan-jalan bersama sang suami, Siraj Bustami (42), dan Hana. Berbagai tempat dan negara pernah dikunjungi.

Sang putri juga senang berenang dan membaca. Di mobil selalu tersedia tumpukan buku untuk dibaca bersama-sama. “Hana selalu bilang, ‘Kita harus bawa 21 buku, Bu.’ Jumlahnya harus pas,” kata Indira sambil tertawa.

Sang suami yang adalah pengacara di bidang energi sangat mendukung karier Indira. Menurutnya, sang suami malah senang melihat istrinya bekerja. Mereka sering bertukar pikiran di rumah.

Kepada pembaca Sekar, Indira memberi semangat mengenai kemampuan perempuan untuk melakukan hal terbaik bagi keluarga, pekerjaan, dan lingkungan sebagai wanita karier maupun ibu rumah tangga. “Kuncinya ada di manajemen waktu yang baik,” tuturnya.

Selain itu, jangan lupa menujukan semua pekerjaan kepada ibadah. Dengan demikian kita akan punya kerelaan untuk menjalani aktivitas. “Jangan pernah putus asa karena itu semua ada di jalan Tuhan,” pesan Indira, bijak.

Tulisan ini bersumber : Sekar edisi 23 Juli 2011

Leave a Reply

%d bloggers like this: