22Feb, 2011

Dibalik Wanita Sukses, Ada Pria Hebat di Belakangnya

talkshow perempuan

Ada yang berbeda pada seminar nasional yang bertema Perempuan, Ruang Publik dan Islam yang diadakan oleh Universitas Paramadina Graduate Schools 13 Januari 2011 lalu. Seminar kali ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari karyawan di berbagai bidang, guru, aktivis dari lembaga swadaya masyarakat, badan keagamaan, politisi, pemerintahan, bisnis, akademisi, tokoh-tokoh masyarakat yang berkepentingan dengan isu perempuan dan ruang publik hingga mahasiswa.  Tingginya minat dari para peserta untuk menghadiri acara tersebut dikarenakan adanya pembicara-pembicara yang sangat kompeten dan ‘sukses’ sebagai perempuan. Pembicaranya antara lain adalah Dra. Nina Sardjunani M.A. (Deputi Meneg PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan), Indira Abidin, S.E., M.Ed. (Managing Director of Fortune PR), Yuniyanti Chuzaifah (Ketua KOMNAS Perempuan), Nasarudin Umar (Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama), Santi Poesposutjipto (Chairman of Soedarpo Corporation), dan Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan M.Ag. (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta). Seminar nasional yang dibuka dengan pidato pembukaan dari Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, Ph.D. dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar ini membahas telaah sosial, budaya, politik dan agama atas peluang serta dukungan bagi perempuan dalam mengakses ruang publik.

Secara statistik jumlah perempuan yang masuk ruang publik terus meningkat tak terkecuali perempuan Muslim. Dari sisi supply, perempuan terdidik dari keluarga Muslim terus menyumbang peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di ruang publik, sementara dari sisi demand, hampir tidak ada jenis pekerjaan publik yang tidak memberi peluang kepada perempuan. Di Indonesia sudah sejak dulu, perempuan maupun laki-laki berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di ruang publik seperti perdagangan, pendidikan, perbankan dan macam-macam kegiatan profesional dan sosial yang lain. Meskipun tidak ada hambatan explisit untuk bekerja, ketidaksetaraan gender masih banyak ditemukan. Ada sektor-sektor yang didominasi oleh laki-laki yang bisa mengakibatkan keluarnya kebijakan dan pelayanan yang bias gender. Sebaliknya, ada sektor-sektor di mana terjadi feminisasi tenaga kerja yang sering kali menyebabkan eksploitasi kepada perempuan. Oleh sebab ini, sangat penting dan sangat dibutuhkan uraian tentang bagaimana agar laki-laki dan perempuan mendapatkan akses yang setara di ruang publik dan apa yang bisa dilakukan agar terjadinya keadilan gender bagi laki-laki dan perempuan dalam ruang publik. Maka pertanyaannya, bukan apakah perempuan boleh bekerja dan berhubungan dengan ruang publik tetapi:

  • Bagaimana wujud dari keterlibatan perempuan itu? 
  • Bagaimana kebijakan pemerintah memfasilitasi kesempatan yang lebih baik ataupun menghambat keterlibatan perempuan dalam ruang publik?
  • Bagaimana pengalaman perempuan berada dan bekerja di ruang publik? 
  • Bagaimana pengalaman perempuan Muslim dalam ruang publik? 
  • Bagaimana penafsiran Islam di Indonesia terkait perempuan di ruang publik? 
  • Apakah dengan bertambahnya sumbangan perempuan dalam pekerjaan di ruang publik berpengaruh pada berkurangnya beban kerja mereka di ruang domestik? 
  • Dan apa yang bisa dilakukan untuk memfasilitasi keadilan dalam representasi dan keterlibatan perempuan dan laki-laki di ruang publik?
IMG00574-20110113-1600
“Sebenarnya jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan di atas adalah adanya stigma yang kurang tepat yang beredar di kalangan masyarakat, bahwa perempuan tidak bisa menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan peran publiknya” jelas Ibu Indira Abidin. Dari pengamatannya, Indira menemukan bahwa bahkan di perusahaan-perusahaan di mana tidak terdapat peraturan yang bias gender pun stigma ini masih muncul. Stigma ini kerap berkembang menjadi perasaan inferioritas di kalangan perempuan sendiri. Harapan dan semangat untuk berprestasi tinggi di ruang publik kerap hanya jadi impian bagi banyak perempuan. Bagi para pembuat keputusan stigma ini dapat berkembang menjadi dasar penetapan peraturan yang bias gender. Dan bagi laki-laki, stigma ini dapat berkembang menjadi pembagian tugas yang kaku dalam ranah domestik. Stigma yang kurang tepat mengenai perempuan yang berkarya di ruang publik inilah yang perlu dikikis habis. Memang tidak mudah. Perempuan yang kini sudah berkarya di ranah publik perlu benar-benar belajar dari kisah sukses para pendahulunya yang mampu membangun keseimbangan peran publik dan peran domestik. Pembangunan keseimbangan ini tentu membutuhkan konsentrasi yang tinggi, penetapan prioritas hidup yang tepat, dan kebijaksanaan dalam bersikap di ruang publik dan di keluarga. Perempuan tetap punya tanggung jawab yang tak tergantikan dalam rumah tangganya, yang tak dapat dikompromikan sebagai ibu dan istri.
  • Bagi perusahaan dan organisasi tempat bekerja diperlukan kebijakan-kebijakan yang memudahkan bagi perempuan untuk berkarya. Ruang menyusui, daycare di kantor, flexible hours, mobile office system adalah berbagai hal yang penting untuk dipertimbangkan oleh para employers. 
  • Bagi pemerintah, dibutuhkan pembangunan fasilitas publik yang dapat menciptakan kenyamanan dan keamanan bagi perempuan di tempat umum, seperti penerangan yang baik, petugas-petugas keamanan, dan peraturan kepemilikan aset yang “ramah perempuan”. 
  • Bagi para suami, ayah dan keluarga terdekat, dibutuhkan dorongan, semangat dan motivasi yang dapat menghasilkan perempuan-perempuan yang memiliki cita-cita dan semangat tinggi untuk dapat berkarya unggul secara domestik dan publik.

“Perempuan sukses akan menjadi inspirasi bagi perempuan sukses lainnya. Dan semua perempuan sukses mengakui bahwa di balik kesuksesan mereka ada ayah dan suami yang hebat, yang mampu mendorong dan memotivasi mereka untuk terus maju dan berhasil, secara publik dan domestik. Para laki-laki inilah yang harus menjadi sumber inspirasi berikutnya.

Leave a Reply

%d bloggers like this: